Mengatasi Penambangan Liar <16 Juni 2004>
Rudianto Ekawan, Dosen Teknik Pertambangan ITB dan Kandidat doktor di Ecole des Mines de Paris, PrancisSELAMA satu dekade terakhir, industri pertambangan batu bara Indonesia tumbuh mengesankan dan telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara. Industri ini tumbuh rata-rata 14% per tahun selama 1995 - 2000 dan 2002 memberikan pendapatan kepada pemerintah sebesar Rp9,4 triliun, bersama industri pertambangan lain. Namun, kini industri ini menghadapi berbagai persoalan yang mengancam keberlangsungannya. Salah satu persoalan adalah masalah pertambangan tanpa izin (Peti).
Kondisi faktual memperlihatkan kegiatan pertambangan Indonesia dilakukan oleh dua kelompok: pertambangan berizin dan tidak berizin. Kelompok pertama adalah perusahaan yang melakukan kegiatan setelah mendapatkan izin pemerintah dalam bentuk kontrak karya (KK), kuasa pertambangan (KP), SIPD, atau koperasi. Kelompok kedua adalah pelaku Peti yang melakukan penggalian di areal perusahaan berizin dan sudah eksplorasi. Usaha Peti dilakukan oleh orang per orang yang bermodal dan pengetahuan penambangan terbatas. Namun, dalam perkembangannya didukung oleh pemodal besar.
Persoalan muncul karena wilayah kerja Peti sudah mencakup ribuan hektare, tersebar di beberapa wilayah pertambangan Indonesia. Bahkan batu bara yang dijarah sudah mencapai 10 juta ton setahun. Penambangan berizin yang dijarah menyesalkan keberadaan Peti karena telah mengurangi cadangan batu bara, merusak lahan kerja, dan merusak pasar batu bara. Sedangkan Peti, melalui Asosiasi Penambangan Rakyat (Aspera), menganggap keberadaannya membantu pasokan batu bara dan membantu masyarakat mendapatkan pekerjaan. Aspera berpendapat Peti memiliki legalitas dari kabupaten karena telah membayar royalti dan dana reklamasi.
Mengapa Peti muncul?
Keberadaan Peti sebenarnya telah berlangsung lama. Namun, mulai marak sejak krisis ekonomi 1998. Sejak saat itu banyak masyarakat menambang batu bara dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Terdapat tiga faktor utama mengapa Peti muncul.
Pertama, faktor ekonomi. Masalah kemiskinan dan tidak ada alternatif sumber pendapatan lain mendorong masyarakat mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menggali bahan tambang secara liar. Hal ini diperparah dengan adanya pelaku ekonomi bermodal yang tergiur untuk mendapat rente ekonomi secara jangka pendek dengan membiayai kegiatan ini.
Kedua, faktor peraturan dan kapasitas aparatur. Tidak ada perangkat aturan dan kebijakan yang tegas, konsisten, dan transparan yang mengatur usaha pertambangan termasuk di antaranya dalam perizinan, pembinaan, kewajiban, dan sanksi. Lemahnya pemahaman aparat pemerintah lokal dalam pemahaman tata laksana penambangan yang benar (good mining practices) dan perilaku aparat yang berusaha mengambil manfaat pribadi atas kegiatan Peti. Hal tersebut menjadi faktor penting tumbuhnya penambangan liar.
Ketiga, faktor pola hubungan dan kebijakan perusahaan berizin. Selama ini hubungan antara penambangan liar dan perusahaan berizin yang dijarah dilandasi oleh rasa curiga dan konflik. Dengan pola hubungan seperti ini dan penerapan kebijakan yang represif untuk mengusir Peti sesegera mungkin, malah akan menjadikan Peti sulit diberantas.
Dampak Peti
Meski untuk jangka pendek Peti membawa manfaat berupa pemasukan (pendapatan asli daerah/PAD), penyediaan lapangan pekerjaan dan mendorong kegiatan ekonomi lokal. Namun, secara jangka panjang usaha ini berpotensi membawa dampak negatif signifikan. Dari berbagai potensi dampak negatif itu, ada tiga dampak yang penting.
Pertama, dampak ekonomi makro. Keberadaan Peti berdampak negatif pada ekonomi makro berupa berkurangnya pendapatan daerah atau negara. Meski dinyatakan Peti membayar Rp6.000 - Rp15.000 per ton batu bara, namun jumlah ini lebih kecil dibandingkan andai dikelola oleh penambang resmi, KK atau KP.
Paling tidak ada 13 kewajiban finansial perusahaan KK, di antaranya pajak perusahaan dan royalti. Perusahaan KK membayar pajak 30% keuntungan dan royalti berkisar Rp30.000 - Rp45.000 per ton. Keberadaan Peti juga telah mengancam masuknya investor asing dan lokal. Data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memperlihatkan sejak 2000, tidak ada investor asing yang berinvestasi di sektor pertambangan. Salah satu sebab adalah kekhawatiran investor bahwa keberadaan Peti akan mengancam usahanya.
Kedua, dampak lingkungan. Karena dilakukan masyarakat bermodal dan berpengetahuan penambangan terbatas serta terkadang didukung pemodal besar yang memaksimalkan keuntungan jangka pendek, Peti membawa dampak negatif lingkungan. Kegiatannya kurang memperhatikan tata laksana penambangan yang benar (good mining practices), rendah memperhatikan kaidah lingkungan dan keselamatan kerja. Tidak mereklamasi lahan dengan benar, tidak menangani limbah padat dan cair, merusak sumber air bawah tanah merupakan praktik yang dilakukan sebagian besar Peti. Fakta memperlihatkan di beberapa kabupaten di Kalsel dan Kaltim ada bukaan lahan bekas penambangan Peti yang gersang dan sulit untuk ditanami kembali.
Ketiga, dampak konservasi cadangan. Karena keterbatasan pengetahuan teknik penambangan dan teknologi, Peti hanya menggali lapisan batu bara dekat permukaan dan meninggalkan potensi batu bara yang lebih dalam serta terkadang menimbun tanah penutup di atas lahan yang masih terdapat lapisan batu bara. Kegiatan ini akan menghalangi konservasi sumber daya dengan mengurangi jumlah cadangan batu bara tertambang. Selain itu efisiensi produksinya relatif rendah dengan besarnya kehilangan (losses) batu bara dari proses penambangan hingga pemasaran.
Penanganan Peti
Persoalan Peti kini telah menjadi kompleks karena menyangkut berbagai aspek dan menjadi sulit diberantas. Upaya yang dilakukan Tim Penanganan Peti--dibentuk berdasarkan Keppres 25/2001--dengan menutup paksa belum mampu mengurangi jumlah penambang liar. Dan memang metode seperti ini tidak akan berhasil. Pengalaman China dengan menutup paksa 30.000 penambang ilegal pada 1998 – 2000 tidak berdampak signifikan pada penurunan tingkat kerusakan lingkungan dan kecelakaan kerja, bahkan semakin memperparah kondisi.
Persoalan penambangan liar tidak hanya di Indonesia, namun juga di beberapa negara penghasil tambang. Tahun 2002, organisasi International Mining, Mineral and Sustainable Development (MMSD) menerbitkan laporan Breaking New Ground, berisikan standar, pedoman, dan rekomendasi bagi industri pertambangan untuk melakukan penambangan berkelanjutan. Salah satu bagian laporan ini adalah masalah penanganan pertambangan ilegal berdasarkan hasil studi di 18 negara.
Menurut laporan itu, objektif utama program penanganan Peti bukan memberantas kegiatan ini secara total tapi lebih jauh lagi, yakni: untuk mengurangi kemiskinan, membuka aktivitas ekonomi lain, serta mengurangi dampak lingkungan dan konservasi sumber daya. Pendekatan yang direkomendasikan adalah ekonomi, sosial, dan teknologi dengan dukungan koordinasi dan kerja sama seluruh aktor: pemerintah pusat dan lokal, industri pertambangan, LSM dan lembaga riset dan perguruan tinggi. Tiap aktor tersebut mempunyai peran yang saling melengkapi.
Pemerintah berperan dengan menyusun kebijakan yang tegas, konsisten dan transparan dalam mengatur usaha pertambangan, terutama hal perizinan, pembinaan, kewajiban dan sanksi. Pemerintah dapat mengakui Peti dengan memberi legalisasi bagi penambang yang memenuhi kriteria yang disyaratkan, seperti laporan rencana penambangan, produksi, dan penanganan lingkungan. Penambang jenis ini diberi insentif, misalnya pemberian pelatihan, pembinaan, sedangkan yang tidak memenuhi kriteria harus ditindak tegas (ditutup). Kerja sama lintas departemen dan aparat hukum mutlak diperlukan karena Peti tidak semata persoalan pertambangan, namun juga ekonomi (kemiskinan dan peluang kerja), lingkungan dan sosial.
Industri pertambangan harus mengubah pola hubungannya dengan Peti dari rasa curiga dan represif menjadi hubungan bersifat kolaboratif. Sebagai contoh, perusahaan Placer Dome berhasil mengatasi persoalan Peti di tambangnya di Venezuela dengan menerapkan strategi ini secara bertahap, yakni: passive accomodation, constructive engagement, dan akhirnya colaborative relations.
LSM perlu dilibatkan untuk berperan sebagai mediator dalam membangun hubungan lebih konstruktif antara penambang resmi, Peti, dan pemerintah. Bahkan beberapa organisasi seperti Commununities and Small Scale Mining (CASM), Departement for International Development (UK) atau World Bank dapat memberikan bantuan teknik atau finansial untuk menangani persoalan Peti.
Lembaga riset dan perguruan tinggi berperan untuk mengkaji pemanfaatan teknologi murah dan tepat guna untuk dapat digunakan Peti agar dapat memitigasi dampak negatif yang ditimbulkan. Lembaga ini dapat pula membantu menguatkan kapabilitas dan kapasitas aparat daerah dalam hal pengetahuan pengelolaan kegiatan pertambangan dalam bentuk pelatihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar